Jejak Pramuka – Pada suatu kegiatan lomba kepramukaan, saya bertemu dengan salah satu adik yang pernah menjadi anggota di ambalan/gugus depan (gudep). Kini, sembari kuliah, ia diminta untuk ikut membantu membina di salah satu gudep yang ada. Dalam perbincangan kami, ia bercerita tentang pengalaman dan pola pembinaan yang ia rasakan saat masih aktif sebagai peserta didik, lalu membandingkannya dengan kondisi di tempatnya membina sekarang.
Dengan penuh semangat, ia mengisahkan bahwa di gudep tempatnya membina saat ini, latihan tidak diadakan secara rutin. Sebaliknya, latihan hanya dilakukan secara situasional, yakni ketika ada event lomba yang akan diikuti. Saat itu barulah diadakan serangkaian latihan intensif dengan peserta yang telah diseleksi sebelumnya. Ia tampak bangga dengan pola pembinaan seperti itu, tetapi saya justru merasa miris. Betapa jauhnya orientasi dan strategi pembinaan di sebagian gudep dari esensi sebenarnya.
Sejatinya, kegiatan dalam kepramukaan, termasuk lomba, merupakan bagian dari metode pendidikan yang bertujuan membentuk karakter dan keterampilan peserta didik. Namun, yang terjadi di beberapa gudep justru sebaliknya. Lomba yang seharusnya menjadi sarana, kini berubah menjadi tujuan utama. Hal ini tak lepas dari tekanan pihak sekolah yang menginginkan prestasi demi menambah poin akreditasi. Akibatnya, pembina lebih fokus pada target kemenangan dibandingkan proses pendidikan jangka panjang yang seharusnya menjadi inti dari kegiatan kepramukaan.
Saya teringat sebuah perumpamaan yang pernah diajarkan dalam kursus kepramukaan. Kepramukaan diibaratkan sebagai lampu di plafon yang menerangi sebuah ruangan. Semakin mendekati lantai, sinarnya semakin melemah, menciptakan tiga wilayah berbeda. Wilayah pertama, yang berada dekat dengan sumber cahaya, tentu bersinar terang. Wilayah kedua mulai temaram, sementara wilayah ketiga, yang jauh dari pusat cahaya, tenggelam dalam kegelapan. Sayangnya, banyak pembina kini hanya berfokus pada segelintir peserta didik yang bersinar terang, sementara mereka yang masih membutuhkan bimbingan justru terabaikan.
Fenomena ini memperlihatkan problematika mendasar dalam Gerakan Pramuka: budaya “seolah-olah” yang semakin akut. Seolah-olah ada pembinaan, padahal hanya berbasis event. Seolah-olah ada latihan rutin, padahal hanya muncul menjelang lomba. Seolah-olah peserta didik berkembang, padahal hanya segelintir yang mendapat perhatian. Padahal, kepramukaan seharusnya menjadi wadah inklusif bagi seluruh peserta didik untuk tumbuh dan berkembang.
Dalam perenungan ini, saya kembali mengingat kutipan Baden Powell: “Scouting is a game for the boys but a job to be done seriously by the adults.” Kepramukaan adalah permainan yang menyenangkan bagi peserta didik, tetapi merupakan tugas serius bagi orang dewasa yang membinanya. Sudahkah kita, para pembina dan pemangku kepentingan di Gerakan Pramuka, menjalankan tugas ini dengan sungguh-sungguh? Sudahkah kita berusaha menghantarkan kaum muda bangsa menuju masa depan yang lebih baik di bawah kibaran Sang Merah Putih?
Quo Vadis Gerakan Pramuka? Ke mana arah gerakan ini akan bermuara? Jawabannya ada pada kita semua yang mengemban amanah sebagai pembina dan penggerak organisasi ini. Kini saatnya kembali kepada hakikat sejati kepramukaan: mendidik generasi muda dengan penuh dedikasi, bukan sekadar mengejar piala atau prestasi instan yang mengorbankan esensi pembinaan.[JP-Red]
— Penulis : Sonny Prima Sanjaya – Pembina Pramuka Denpasar Bali —