Jejak Pramuka – Gerakan Pramuka Indonesia lahir dari semangat membangun karakter bangsa, bukan dari arena perebutan kekuasaan. Sejak awal, Pramuka ditetapkan sebagai organisasi pendidikan nonformal yang netral, independen, dan non-partisan. Namun dalam dinamika kontemporer, ketika politik praktis mulai menyusup ke banyak ruang sosial, Gerakan Pramuka pun menghadapi tantangan serius: bagaimana menjaga kemurnian marwahnya sebagai ladang pengabdian, bukan sebagai alat kepentingan.
Jawaban atas kekhawatiran ini ditegaskan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Gerakan Pramuka hasil Musyawarah Nasional (Munas) XI Tahun 2023. Dengan terang dan lugas, AD/ART menyatakan larangan bagi pejabat struktural partai politik untuk menjabat sebagai Ketua Kwartir, baik di tingkat nasional, daerah, maupun cabang.
1. Ketua Kwartir Nasional Tidak Boleh dari Pimpinan Partai Politik
Pasal 72 ayat (3) huruf d) ART menyatakan:
“Calon Ketua Kwartir Nasional tidak sedang menjabat sebagai pimpinan partai politik.”
Ini adalah bentuk komitmen nasional terhadap independensi Gerakan Pramuka. Ketua Kwartir Nasional tidak boleh berasal dari pucuk pimpinan partai politik, sebab jabatan tersebut rentan menyusupkan agenda politik ke dalam struktur dan kegiatan pembinaan Pramuka.
2. Ketua Kwartir Daerah Juga Dilarang dari Struktur Pimpinan Parpol
Larangan ini tidak berhenti di tingkat nasional. Dalam Pasal 81 ayat (3) huruf d) ART, kembali dipertegas bahwa:
“Calon Ketua Kwartir Daerah tidak sedang menjabat sebagai pimpinan partai politik.”
Artinya, larangan ini bersifat struktural dan menyeluruh. Tingkat provinsi pun harus menjaga marwah netralitas organisasi. Siapa pun yang ingin mencalonkan diri sebagai Ketua Kwarda, wajib bersih dari jabatan struktural di partai politik.
3. Di Tingkat Kabupaten/Kota, Prinsip yang Sama Berlaku Tegas
Tidak ketinggalan, Pasal 90 ayat (3) huruf d) ART menyatakan secara eksplisit:
“Calon Ketua Kwartir Cabang tidak sedang menjabat sebagai pimpinan partai politik.”
Ini berarti, dari pusat hingga ke daerah tingkat kabupaten/kota, seluruh jalur struktural kepemimpinan Gerakan Pramuka diikat oleh prinsip netralitas politik praktis.
Mengapa Ini Sangat Penting?
Larangan ini bukan sekadar administratif—melainkan ideologis. Pramuka adalah lembaga pendidikan karakter. Jika ketua kwartir dijabat oleh tokoh partai, maka ada potensi penyusupan misi politik dalam kegiatan yang seharusnya murni untuk pembinaan generasi muda. Hal ini bisa menyebabkan:
- Politisasi kegiatan kepramukaan secara langsung atau terselubung;
- Penurunan kepercayaan publik terhadap objektivitas dan netralitas gerakan;
- Perpecahan internal akibat tarik-menarik kepentingan politik.
Saatnya Kembali ke Akar
Kini waktunya kita semua — dari gugus depan hingga kwartir nasional — untuk kembali ke akar Gerakan Pramuka: pengabdian tulus membina tunas-tunas bangsa. Ketua kwartir harus menjadi panutan moral, bukan figur partisan. Pramuka harus kembali menjadi rumah bersama yang netral, bebas dari syahwat kekuasaan, dan benar-benar menjadi benteng pembentukan karakter anak bangsa.
Menjaga Marwah dengan Menegakkan Aturan
Munas XI Tahun 2023 telah menyalakan kembali suluh integritas organisasi. Namun keputusan ini hanya bermakna bila kita semua berani menegakkannya. Jangan beri ruang bagi siapa pun yang mencoba menjadikan Pramuka sebagai kendaraan politik. Gerakan ini lebih besar dari ambisi pribadi — ia adalah warisan para pendiri bangsa yang harus dijaga dan dimuliakan.[JP-Red]