Tiga Wajah Pembina Pramuka: Antara Totalitas, Realitas, dan Pengabdian

Jejak Pramuka – Dari hasil pengamatan, refleksi, dan interaksi saya selama lebih dari 25 tahun membina Pramuka di berbagai level, ada satu fakta yang menarik untuk dibaca dengan jujur dan dewasa: pembina Pramuka tidak pernah hadir dalam satu wajah yang sama. Mereka dibentuk oleh latar belakang ekonomi, fase kehidupan, lingkungan kerja, hingga cara memaknai pengabdian itu sendiri.

Setidaknya, dari realitas lapangan, saya mengelompokkan pembina Pramuka ke dalam tiga tipe besar. Bukan untuk menghakimi, melainkan untuk memahami, menguatkan, dan mencari titik keseimbangan agar Gerakan Pramuka tetap hidup, bermartabat, dan berkelanjutan.


1. Pembina Pramuka “Nyel” (Totalitas Tanpa Sisa)

Pembina tipe ini adalah sosok yang nyaris “hidupnya Pramuka”. Hampir seluruh energi, waktu, dan pikirannya dicurahkan untuk membina gugus depan. Tidak jarang, ia membina lebih dari dua gudep sekaligus. Ia hadir paling awal, pulang paling akhir, dan selalu siap ketika dipanggil.

Kelebihan

  • Dedikasi luar biasa dan loyalitas tinggi terhadap Gerakan Pramuka
  • Gudep binaan biasanya hidup, aktif, dan produktif
  • Menjadi figur sentral yang disegani peserta didik
  • Menguasai teknis kepramukaan secara mendalam karena jam terbang tinggi

Kekurangan

  • Rentan kelelahan fisik dan mental (burnout)
  • Ketergantungan ekonomi pada honor pembina yang relatif terbatas
  • Kurang ruang untuk pengembangan diri di luar Pramuka
  • Berisiko stagnan secara finansial dan karier, yang pada jangka panjang bisa memengaruhi semangat pengabdian

👉 Catatan reflektif:
Pembina “Nyel” adalah aset besar, tetapi juga paling rentan “lelah dalam diam”. Tanpa sistem dukungan dan kemandirian ekonomi, totalitas ini bisa berubah menjadi beban.


2. Pembina Pramuka “Nyambi” (Seimbang dan Realistis)

Tipe ini membina Pramuka dengan sadar dan terukur. Biasanya menangani 1–2 gugus depan secara optimal. Pramuka menjadi ruang aktualisasi diri, pengabdian, sekaligus ladang praktik nilai-nilai yang ia pelajari dari kursus, pengalaman lapangan, dan pembina senior sebelumnya.

Kelebihan

  • Manajemen waktu lebih sehat antara Pramuka dan kehidupan pribadi
  • Tidak bergantung pada honor pembina sebagai sumber utama ekonomi
  • Lebih stabil secara psikologis dan finansial
  • Cenderung konsisten dan tahan lama dalam membina

Kekurangan

  • Keterlibatan kadang terbatas oleh pekerjaan utama
  • Intensitas kehadiran bisa fluktuatif
  • Jika tidak dikelola dengan baik, Pramuka bisa menjadi “aktivitas tambahan”, bukan prioritas nilai

👉 Catatan reflektif:
Pembina “Nyambi” adalah model paling realistis di era sekarang. Tantangannya bukan pada kemampuan, tetapi menjaga api idealisme agar tidak padam oleh rutinitas lain.


3. Pembina Pramuka “Ngabdi” (Teladan Kehidupan Nyata)

Ini adalah pembina yang telah “selesai dengan dirinya sendiri”. Secara ekonomi, karier, dan keluarga relatif mapan. Membina Pramuka bukan untuk honor, bukan untuk jabatan, tetapi sebagai panggilan hidup dan gaya pengabdian.

Kelebihan

  • Kemandirian finansial total, tanpa ketergantungan honor
  • Mampu mengatur waktu dengan matang
  • Menjadi role model nyata: sukses berkarier, berkeluarga, dan bermasyarakat
  • Nilai yang diajarkan tidak berhenti di teori, tetapi hidup dalam keteladanan

Kekurangan

  • Jumlahnya terbatas dan sulit direplikasi
  • Risiko jarak generasi jika tidak adaptif dengan dinamika peserta didik
  • Jika terlalu ideal, bisa kurang peka terhadap realitas pembina lain yang masih berjuang secara ekonomi

👉 Catatan reflektif:
Pembina “Ngabdi” adalah mahkota moral dalam Gerakan Pramuka. Ia bukan sekadar pembina kegiatan, tetapi pembina kehidupan.


Penutup: Bukan Soal Tipe, Tapi Arah

Tidak ada tipe yang sepenuhnya salah atau sepenuhnya benar. Yang keliru adalah ketika pembina tidak sadar sedang berada di fase mana, dan tidak menyiapkan transisi menuju kondisi yang lebih sehat dan berkelanjutan.

Idealnya, pembina Pramuka:

  • Berangkat dari semangat “Nyel”
  • Bertumbuh menjadi “Nyambi” yang seimbang
  • Dan pada waktunya matang sebagai “Ngabdi” yang meneladani

Gerakan Pramuka tidak hanya membutuhkan pembina yang pandai berteriak di lapangan, tetapi pembina yang hidupnya sendiri adalah pelajaran. Karena pada akhirnya, Pramuka tidak diwariskan lewat kata-kata, tetapi ditularkan lewat keteladanan hidup.[JP-Red]

Tentang Penulis : Uays Hasyim, SE., MM., CT.HLC., CPS., CSE – (Kepala Pusat Informasi Gerakan Pramuka Kwartir Cabang Sidoarjo, Purna Sekretaris Umum DKC Sidoarjo 1997 – 2000, Purna Ketua DKC Sidoarjo 2000 – 2002, Wartawan Pelajar (Kropel) Surabaya Post – 1997, Direktur HOLISTIQ Training 2007 – Sekarang, Pimpinan Redaksi jejakpramuka.com;

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *