Gerakan Pramuka di Persimpangan Jalan: Antara Keterbukaan dan Tantangan Pengelolaan

Jejak Pramuka – Gerakan Pramuka memiliki nilai istimewa yang membedakannya dari banyak organisasi lainnya. Salah satu kekuatan utamanya adalah keterbukaan—organisasi ini tidak memberlakukan batasan ketat bagi siapa pun yang ingin bergabung. Dengan sistem penggolongan usia yang jelas, anggota Pramuka terbagi menjadi dua kelompok besar: anggota muda (usia 7–25 tahun) dan anggota dewasa (di atas 25 tahun).

Menariknya, tidak ada keharusan bagi seseorang untuk memulai dari tingkatan paling dasar. Setiap individu dapat berproses sesuai usia dan kesiapan masing-masing. Namun, apakah fleksibilitas ini merupakan kekuatan, atau justru menyimpan potensi kelemahan?

Dalam struktur organisasi seperti Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Kepolisian Republik Indonesia (Polri), setiap posisi strategis hanya bisa ditempati melalui proses jenjang dan seleksi yang ketat. Setiap personel dibina secara sistematis agar memiliki kompetensi yang sesuai dengan peran dan tanggung jawabnya.

Berbeda dengan Gerakan Pramuka. Di sini, proses seleksi tidak seketat institusi militer atau kepolisian. Siapa pun yang memiliki niat dan keikhlasan untuk memimpin, misalnya di tingkat kwartir, bisa saja terpilih—selama mendapat kepercayaan dari para anggota. Ini mencerminkan semangat keterbukaan dan keadilan yang menjadi jiwa Gerakan Pramuka.

Namun, di balik keunggulan itu, tersimpan potensi tantangan. Keterbukaan tanpa seleksi yang memadai dapat menjadi masalah ketika seseorang dipercaya memimpin namun tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang organisasi. Dalam konteks manajemen modern, prinsip “The Right Man in the Right Place” menjadi sangat relevan. Pemimpin yang tidak tepat dapat menjadi titik lemah dalam suatu masa kepengurusan.

Oleh karena itu, memahami cita-cita dan arah gerak organisasi secara menyeluruh adalah sebuah keharusan. Kita perlu menyadari posisi dan peran kita, lalu menjalankannya dengan penuh tanggung jawab. Komitmen untuk terus belajar, mengembangkan wawasan, dan meningkatkan kapasitas diri menjadi hal yang mutlak. Organisasi membutuhkan pribadi-pribadi yang tidak hanya hadir, tetapi juga tumbuh dan memberi kontribusi nyata.

Sebaliknya, jika merasa belum siap atau belum mampu menjalankan amanah dengan baik, maka keputusan paling bijak adalah mengundurkan diri sejak awal. Memberi ruang bagi sosok yang lebih kompeten bukanlah kelemahan, melainkan bentuk tanggung jawab dan kepedulian terhadap keberlangsungan organisasi. Sebab, jika dipaksakan, kehadiran kita justru bisa menjadi beban—bahkan ibarat parasit—yang menghambat laju organisasi yang ingin terus maju.[JP-Red]

Penulis Opini : Hengky Firmansyah, S. Pd.  – Pelatih Pusdiklatcab Kwarcab Banyuwangi —

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *